THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, Mei 10, 2009

Mitos PR : Manfaat atau Mudarat?

It is not enough to be busy; so are the ants.
The question is: What are we busy about?
~Henry David Thoreau

Dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta baru-baru ini, saat di
pesawat, saya duduk berdampingan dengan seorang ibu, sebut saja Bu Yuni.
Terus terang saya agak kaget waktu disapa oleh Bu Yuni, "Hi, Pak Adi,
ya? Apa kabar Pak? Wah, nggak nyangka lho bisa bertemu Pak Adi di sini."
Sambil bersalaman dan menjawab pertanyaan Bu Yuni saya berusaha keras
mengingat di mana pernah bertemu dengan Bu Yuni. Bu Yuni menyadari
kebingungan saya dan berkata, "Bingung, kan? Kita memang belum pernah
bertemu sebelumnya Pak. Saya mengenal Pak Adi melalui berbagai artikel
yang Bapak tulis di internet dan juga buku-buku Bapak".
"Oh... begitu toh ceritanya. Makanya saya bingung. Lha, Ibu kenal saya
tapi saya kok nggak ingat pernah bertemu Ibu.", jawab saya lega.
Selama perjalanan sekitar 1 jam antara Surabaya - Jakarta saya
memberikan "mini seminar" dan menjadi rekan diskusi dan sharing dengan
Bu Yuni.
Ada banyak hal yang Bu Yuni tanyakan. Salah satu yang menarik adalah
mengenai stress yang dialami anak Bu Yuni, yang di SD kelas 3, karena
beban pelajaran yang sangat berat.
"Ah, itu sudah lumrah, Bu. Kalau nggak stress namanya bukan sekolah",
canda saya
"Ya, tapi kan kasihan anak saya, Pak. Coba bayangkan. Sudah banyak
ulangan, hampir tiap hari deh ulangannya, masih dikasih tugas, eh masih
ditambah PR yang sangat banyak. Saya sampe kasihan sama anak saya.
Waktunya habis hanya untuk ngerjakan PR, tugas, belajar, dan terus
belajar. Nggak ada waktu untuk bermain dan menikmati masa kecil", keluh
Bu Yuni sambil menghela nafas panjang.
Pembaca yang budiman, apa yang saya ceritakan di artikel ini adalah
hasil diskusi saya dengan Bu Yuni selama di pesawat dan dilanjut sampai
di ruang kedatangan bandara.
Pembaca, pernahkah anda, sebagai orangtua atau pendidik, memikirkan
dengan sungguh-sungguh manfaat PR, yang jumlahnya cukup banyak, yang
harus dikerjakan anak/murid kita setiap hari?
Dulu saya juga merenungkan hal yang sama. Saat itu saya mengajukan
berbagai pertanyaan seputar PR kepada diri saya sendiri:
* Apakah ada pakar yang pernah meneliti korelasi antara PR dan prestasi
akademik?
* Apakah benar semakin banyak PR yang dikerjakan maka hasilnya semakin
baik untuk anak?
* Apakah nggak sebaliknya, semakin banyak PR justru berpengaruh negatif?
* Apakah ada mata kuliah yang mengajarkan tata cara yang benar dalam
memberikan PR kepada anak/murid?
* Apakah ada cara lain, selain PR, untuk meningkatkan prestasi anak?
Setelah banyak merenung, banyak bertanya, banyak membaca literatur,
searching di Internet, dan membaca pemikiran para pakar, saya akhirnya
sampai pada satu kesimpulan bahwa PR yang banyak tidak menjamin
peningkatan prestasi akademik.
PR sebenarnya tidak perlu banyak-banyak. Seperlunya saja. PR yang sangat
banyak, ditambah lagi dengan beban pelajaran dalam bentuk ujian dan
tugas-tugas lainnya justru berakibat negatif pada anak. Saat ini ada
sangat banyak anak yang stress karena sekolah. Proses belajar yang
seharusnya menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan ternyata kini
justru menjadi sesuatu yang sangat membebani anak.
Baru-baru ini saya membaca satu buku bagus, karya Sara Bennet dan Nancy
Kalish, yang berjudul The Case Against Homework: How Homework is Hurting
Our Children and What We Can Do About It.
Wah, saya senangnya bukan main saat membaca buku ini. Mengapa? Karena
buku ini berisi penelitian para pakar di Amerika mengenai korelasi
antara PR dan prestasi akademik anak. Apa yang ditulis di buku ini
memvalidasi kesimpulan saya mengenai PR. Bahkan lebih ekstrim lagi.
Banyak orangtua dan pendidik yang "yakin" bahwa PR sangat bermanfaat
untuk meningkatkan pemahaman dan hasil pembelajaran anak. Namun
penelitian, seperti yang dipaparkan di buku The Case Against Homework,
justru mengatakan yang sebaliknya.
National Education Association, yang beranggotakan lebih dari 2,7 juta
pendidik di Amerika, dan juga National Parent Teacher Association
mengeluarkan panduan tata cara memberikan PR yang benar dan layak.
Tahukah anda apa yang mereka rekomendasikan?
Kedua asosiasi ini merekomendasikan lama waktu ideal untuk mengerjakan
PR setiap hari sebagai berikut:
* usia TK sampai SD kelas 2 antara 10 sampai 20 menit
* SD kelas 2 sampai 6 antara 30 sampai 60 menit
Sedangkan menurut Prof Harris Cooper, salah satu peneliti terkemuka di
bidang ini, dan juga penulis buku The Battle Over Homework: Common
Ground for Adminstrators, Teachers, and Parents, sekolah harus mengikuti
aturan "10 menit per malam per level kelas". Jadi, untuk anak kelas 1 SD
maka waktu mengerjakan PR maksimal 10 menit per malam. Untuk kelas 2 SD
maksimal 20 menit. Demikian seterusnya.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah hasil review yang dilakukan Prof
Cooper, pada tahun 2001, atas lebih dari 120 studi mengenai PR dan
efeknya, dan ditambah lagi dengan review, pada tahun 2006, terhadap 60
studi lainnya, dengan topik yang sama, ternyata diperoleh data bahwa
hampir tidak ada korelasi antara jumlah PR dan prestasi akademik di SD.
Sedangkan untuk level sekolah menengah (SMP/SMU) terdapat korelasi yang
moderat antara jumlah PR dan prestasi akademik. Namun jika PR yang
diberikan terlalu banyak, di sekolah menengah, justru akan
kontraproduktif.
Menurut David Baker dan Gerald LeTendre, profesor pendidikan dan penulis
buku National Differences, Global Similarities: World Culture and the
Future of Schooling, negara-negara yang terkenal dengan pendidik yang
memberikan PR yang banyak, seperti Yunani, Thailand, dan Iran ternyata
prestasi akademik murid mereka justru sangat buruk.
Sebaliknya negara-negara seperti Jepang, Denmark, dan Czech Republic,
yang murid-muridnya menempati ranking tertinggi prestasi akademik dalam
skala dunia, ternyata guru-guru di negara ini memberikan sangat sedikit
PR.
Prof Baker menyimpulkan bahwa semakin banyak PR yang diberikan kepada
murid maka semakin buruk prestasi akademik yang dicapai.
Bahkan pakar lainnya, Prof Kralovec, menyatakan bahwa tidak ada bukti
sama sekali bahwa PR baik untuk pemantapan hasil belajar.
Di akhir tahun 1990an banyak sekolah dasar di Jepang yang menetapkan
kebijakan "no-homework" alias tidak ada PR. Tujuannya adalah agar anak
bisa mempunyai lebih banyak waktu luang bersama keluarga dan mengerjakan
hal-hal lain, di luar kegiatan sekolah, yang menarik minat mereka.
Survey tahun 2006 oleh American Psychological Association (APA) terhadap
1.300 pelajar sekolah menengah mendapatkan data bahwa lebih dari 42%
pelajar menyatakan PR mengakibatkan sangat banyak stress dalam diri
mereka. Dan hampir 16% mengatakan mereka mengalami stress yang ekstrim.
Sewaktu saya menjelaskan hasil riset ini Bu Yuni langsung bertanya,
"Nah, saya mau tanya nih sama Bapak. Pak Adi kan telah mendirikan
sekolah Anugerah Pekerti di Surabaya. Bagaimana kebijakan yang Pak Adi
tetapkan di sekolah Anugerah Pekerti dalam hal PR?"
Hasil riset ini tentu harus kita sikapi dengan cermat dan bijaksana.
Kami memberikan PR seperlunya saja. Apabila anak diminta mengerjakan
latihan soal atau PR maka kami memastikan bahwa anak akan melakukannya
dengan hati gembira, tanpa tekanan sama sekali. Bahkan seringkali yang
tertulis di agenda murid adalah, "Kerjakan soal latihan di buku paket
matematika, terserah berapa halaman!"
Eiit... tunggu dulu. Jangan salah mengerti dengan apa yang barusan saya
jelaskan. Walaupun guru memberikan pesan "Kerjakan soal latihan di buku
paket matematika, terserah berapa halaman!" namun murid kami mengerjakan
PR atau latihan sampai berpuluh-puluh halaman. Sama sekali tanpa merasa
stress atau tertekan.
Lha, kok bisa?
Dengan memahami psikologi anak, menerapkan proses pembelajaran yang
menyenangkan, memahami cara kerja pikiran dan memori, membangun
ekspektasi yang tinggi dalam diri setiap murid, menggunakan teknik goal
setting yang kondusif dengan tingkat tantangan yang moderat, dan masih
banyak pendekatan lainnya, kami bisa membangkitkan motivasi intrinsik
dalam diri setiap murid sehingga mereka sangat senang mengerjakan PR
atau latihan.
Jadi, PR yang banyak sebenarnya tidak jadi masalah jika anak senang
mengerjakannya dan sama sekali tidak merasa terbebani.
Anda mungkin akan berkata,"Sudah tentu Pak Adi bisa melakukan hal ini di
sekolah Anugerah Pekerti. Kan Bapak pendirinya. Sekolah lain belum tentu
bisa melakukan seperti apa yang guru Anugerah Pekerti lakukan."
Apakah hanya sekolah kami yang bisa melakukan hal ini?
Oh, tidak.
Pertengahan Maret 2007 lalu saya dan Pak Ariesandi memberikan pelatihan
Genius Learning Strategy dan aplikasinya di bidang studi matematika
kepada 40 orang guru SD di wilayah Kab. Pasuruan.
Hasilnya?
Luar biasa. Salah satu guru, yang telah menerapkan apa yang kami
ajarkan, memberikan laporan yang sungguh menggembirakan. Guru ini, Pak
Pendi, berhasil meningkatkan motivasi belajar siswanya, murid SD kelas
6, secara luar biasa. Seluruh murid Pak Pendi sekarang sangat senang
belajar. Bahkan prestasi akademik yang dicapai kelas Pak Pendi telah
melampaui prestasi kelas satunya yang nota bene terdiri dari anak-anak
pilihan. PR? Sama sekali tidak ada masalah. Justru murid-muridnya,
dengan senang hati, minta latihan soal kepada Pak Pendi.
Poin penting yang perlu diperhatikan yaitu PR yang diberikan harus
didesain sedemikian rupa sehingga hampir semua murid dapat mengerjakan
dan menyelesaikan dengan baik dan mendapat nilai evaluasi yang baik. PR
atau tugas yang diberikan tidak boleh terlalu sulit. Jika terlalu sulit
maka yang lebih sering terjadi adalah PR itu dikerjakan oleh para
orangtua, bukan oleh anak/murid. Sudah menjadi rahasia umum orangtua
yang lebih sibuk, daripada anaknya, saat si anak mendapat PR.
Selain itu PR tidak boleh sebagai hukuman. Bila kita memberikan PR
sebagai bentuk hukuman maka anak akan benci PR dan selanjutnya menjadi
benci belajar.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah guru, pada umumnya jarang
sekali, jika tidak mau dikatakan tidak pernah, saling berkomunikasi
mengenai PR atau tugas yang akan diberikan kepada murid. Seringkali
terjadi tumpang tindih dalam memberikan PR atau tugas. PR atau tugas
sebenarnya bisa dikurangi bila sesama guru saling berkoordinasi sehingga
satu tugas meliputi beberapa bidang studi.
Apakah mungkin kita meniadakan PR sama sekali? Jawabannya may be yes...
may be no.
PR bisa ditiadakan bila pembelajaran di kelas tuntas. Jadi, anak
benar-benar mengerti materi yang diajarkan gurunya di kelas. Nah, jika
ini bisa kita lakukan maka PR bisa ditiadakan. Atau bila tetap perlu
diberi PR maka yang diberikan kepada anak hanya secukupnya saja. Nggak
usah banyak-banyak.
Kita ambil contoh matematika. Bila anak telah menguasai konsep dengan
benar dan telah mampu mengerjakan, katakanlah, 5 (lima) soal dengan
benar maka ini sudah cukup. Tidak ada gunanya untuk meminta mengerjakan
10, 20, atau bahkan 30 soal latihan dengan topik yang sama.
PR yang secukupnya ini selain untuk melatih dan menumbuhkan kebiasaan
belajar, tanggung jawab akademik, disiplin, juga bisa digunakan untuk
semakin mempererat hubungan antara orangtua dan anak.
Saat orangtua, yang peduli dan perhatian dengan anak, membantu anak
mengerjakan PR maka terjalin komunikasi batin yang intens dan
konstruktif. Hal ini sangat dibutuhkan anak saat tumbuh kembang.
Pembaca, setelah membaca uraian saya, ditambah dengan pengamatan
terhadap apa yang dialami anak/murid anda dengan mengerjakan PR yang
banyak, saya ingin menutup artikel ini dengan satu pertanyaan pada anda,
"Apakah PR benar-benar bermanfaat bagi kemajuan anak kita? Jika anda
bisa mengubah sistem pendidikan, kebijakan apa yang akan anda terapkan
dalam hal pemberian PR kepada anak/murid?"

0 komentar:

Posting Komentar

Inovasi Pembelajaran KTI

Inovasi Pembelajaran KTI